Sabtu, 26 Oktober 2013

My Second Father was Died

My Second Father was Died

    Hari ini, tanggal 4 September 2013 beliau masuk rumah sakit. Awalnya aku merasa biasa saja, karena menurut sumber beliau hanya sesak napas. Walaupun begitu, aku memiliki keinginan tinggi untuk membesuknya, hanya sekerdar memastikan keadaanya.
4 September 2013, pukul 17.00 WIB
   Sebuah kabar buruk sukses meremukan hatiku. saat itu aku mendengar beliau masuk ICU. Air mata menetes tiada henti. Menunggu kabar baik datang. Akhirnya, pada pukul 18.00 WIB bapak pulang. Sempat kutanyakan bagaimana keadaan beliau. Bapak menjawab, bahwa beliau mulai stabil dan membaik. Remukan- remukan hatiku mulai tersusun sempurna mendengar kabar yang membuatku ringan dan hampir melayang.
  Pada pukul 20.00 WIB, anak bungsu beliau menghubungi HP ibuku yang waktu itu tertinggal dirumah. Karena HP itu berada disampingku aku mencoba menghubungi bapak untuk menanyakan keadaan beliau, yang akan aku salurkan lagi ke anank bungsu beliau. Ternyata, kondisi beliau bertambah buruk. Harap- harap cemas perasaanku sekarang. Aku berdiri dari kursi dan berpindah tempat. Kini, aku berada di teras rumah, menatap ke jalan membuatku mengingat beliau. Bayangan beliau terlihat jelas didepanku, tersenyum kepadaku sembari melanjutkan perjalannya. Lagi lagi air mata ini menetes tanpa aba- aba.
   Pukul 22.00 WIB
    Aku tidak bisa tidur, menunggu kabar dari RS. Dan yang ku tunggu- tunggu akhirnya datang. Telpon berdering. Kuangkat, terdengar suara sedih bapak. Feelingku tidak enak. Kutanyakan apa yang terjadi. Bapak berkata, bahwa beliau kini menggunakan alat bantu pernapasan. Telpon yang kugenggam ini hampir saja terjatuh. Bapak berpesan untuk langsung memberi tahukan anak bungsunya. Aku langsung melakukan amanah dari bapak. Kuhubungi anak bungsunya dan meminta doa untuk kesembuhan beliau. Tidak lupa pula kuhubungi kakakku untuk meminta doanya pula. Disini puncak dari kecemasanku. Lantunan istigfar tidak terputus dari mulutku. 1 jam... 2 jam...3jam...4 jam...5 jam....Aku pun terlelap.
5 September 2013 pukul 05.30 WIB
    Bapak membangunkanku, mengajakku ke RS. Itu yang kuinginkan, yang kutunggu dari kemarin. Aku langsung beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka lalu mengambil asal kerudung dan menyatukannya dengan celana bahan hitam dan jaket biru donker. Kupanaskan motor mengambil helm dan siap berangkat. Oh, HP ibu berdering lagi, akan ada kabar apa lagi ini???Aku memutar otak menduga- duga apa yang akan terjadi. Ternyata kritis. Beliau sekarang kritis. Dengan perasaan hancur aku mengendarai motor menuju RS. Dengan membaca doa memohon keselamatan beliau. Sekarang aku telah berada di lantai 1 RS.
  Pukul 06.00 WIB
     Suara tangis ini sudah tidak asing lagi bagiku. Perasaanku tambah was- was. Sesampainya didekat ruang ICU, Ibu menghampiri aku dan bapak. Sepertinya kabar buruk akan terdengar lagi. Ingin rasanya kututup kedua telinga ini agar tak dapat mendengar setiap kabar buruk tentang beliau, tapi bisa. Aku harus tetap mendengarkan ibu dengan seksama. Ibu berkata bahwa beliau telah tiada. Satu detik... dua detik... tiga detik... empat detik... lima detik.... Air mata menetes lagi. Aku tak percaya secepat itu beliau mendapatkan undangan untuk menghadap-Mu. Ibu menyuruhku pulang memberi tahu sepupuku untuk menjemput istri beliau yang sangat tak berdaya saat ini. Karena keadaanku yang masih shock tidak memungkinkan, aku memutuskan untuk membonceng bapak. Sesampai dirumah aku hanya duduk diteras, tanpa melakukan aktivitas apapun. Setelah aku merasa agak tenang, aku langsung berjalan menuju rumah beliau. Membantu semua hal yang bisa aku bantu.
  Pukul 09.25 WIB
         Putri-putri, menantu- menantu, serta cucu beliau sudah tiba dari Jakarta. Saat itu aku berada didapur, menenangkan diriku yang masih tidak percaya. Saat aku berjalan melewati penduduk sekitar yang datang untuk menyampaikan bela sungkawanya. Tempat tujuanku sudah didepan mata, kamar beliau. Sejenak aku terdiam didepan pintu kamar beliau. Melihat betapa penuhnya kamar beliau. Wajah- wajah orang- orang yang berada didalam kamar itu sudah tak asing lagi untukku. Ya, mereka keluarga beliau. Cucu perempuan pertama beliau melihat kedatanganku, dengan singkat dia memelukku dengan erat. Seakan ingin membagi rasa sedihnya. Pertahananku runtuh. Aku sudah tidak dapat menahan air mataku. Kutepuk punggungnya, agar dapat membuatnya sedikit tenang. Tiba- tiba seseorang menarik tangannya, menyuruhnya untuk mengambil air wudhu lalu membacakan Yassin untuk beliau. Sayang sekali, aku tidak dapat ikut membacakan beliau Yassin.
Pukul 12.05 WIB
         Kami mempersiapkan diri untuk mengantar beliau ke tempat peristirahatan terakhir beliau. Sebelumnya, keluarga dipersilahkan untuk melaksanakan prosesi adat terlebih dulu. Adat itu bertujuan untuk menghilangkan rasa ingat keluarga atas beliau agar mereka tidak berlarut- larut dalam kesedihan, dengan cara berputar dibawah keranda beliau sebanyak tiga kali. Aku tahu, aku memang bukan  anak atau cucu beliau, tapi entah kenapa aku didorong beberapa warga sekitar. Setelah pelaksanaan adat, kami pun berjalan menuju tempat pemakaman umum. Setiap langkahku kupersembahkan untuk beliau. Sepanjang perjalanan, air mataku terjun bebas, mengenai pipiku lalu turun hingga tanah. Mengingat setiap kenangan bersama beliau. Mengingat betapa berharganya beliau untuk keluarga kami. Betapa gigihnya perjuangan beliau untuk membantu bapak pindah dari Wamena, Papua. Sesampainya didepan liang lahat, jenazah beliau dimasukkan kedalam lubangan tersebut, lalu diadzani. Pada saat diadzani, aku teringat oleh beliau lagi, sehingga air mataku mengalir lagi. Setelah diadzani, lubangan itu ditutupi oleh tanah, saat itu tangisku semakin menjadi- jadi memikirkan beliau yang akan sendirian dibawah sana. Kulihat sekitar pemakaman beliau, terlihat banyak orang yang menangisi beliau, hal tersebut membuktikan semasa hidup beliau, beliau disayang, dihormati, disegani oleh banyak orang.
Pukul 19.00 WIB
         Hari ini adalah hari pertama tahlilan kepergian beliau, masih terasa hangat tawa beliau dirumah ini. Saat bacaan Yassin dengan indah dialunkan, tangisku pecah. Aku memutuskan untuk dibelakang.

13 Oktober 2013
         Hari ini adalah 40 hari kepergian beliau. Kusempatkan sedikit waktuku untuk menjenguk beliau di tempat tidurnya. Sebelum membacakan Yassin, kuberikan waktu kepada otakku untuk memutar lagi kenanganku bersama beliau.
         Hari itu, hari terakhir kakak di Semarang. Pada awalnya, ibu mau menjemput kakak naik bus. Berita itu terdengar hingga telinga beliau. Beliau langsung menawarkan untuk menjemput kakak. Saat itu,kami diajak makan bersama disebuah rumah makan.
         Suatu hari pula, beliau mengajak aku, adikku untuk berlibur ke waterboom. Dengan bermodal pakaian ganti, beliau mengajak kami pergi. Membelikan kami makan pagi dan makan siang.
         Lalu, waktu itu bapak bekerja di Papua. Keinginan bapak untuk pindah ke Pati lagi- lagi terdengar oleh beliau. Lalu dengan susah payah beliau mendaftarkan bapak ditempatnya bekerja. Mustahil bagiku, seorang supir dinas dapat memasukkan adiknya di kantornya.
         Kenangan lama bersama beliau kembali terputar. Membuatku tersenyum lalu meneteskan air mata mengenang kepergian beliau.